Ketentuan ini mewajibkan setiap pengembang untuk membangun rumah tapak atau rumah susun murah yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Ketentuan ini diatur dalam UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Perumahan serta UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yang pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No.10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman Dengan Hunian Berimbang, yang telah direvisi dengan PM No.7 tahun 2013.
Lebih lanjut, Pemerintah menentukan batasan harga rumah tapak dan rumah susun murah berdasarkan Peraturan Menteri No.425/KPTS/M/2015 tentang Batasan Harga Jual Rumah Yang Dapat Diperoleh Melalui Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah Sejahtera.
Sebagai contoh, harga jual rumah tapak murah di Jakarta menurut Peraturan Menteri tersebut maksimal adalah Rp 135 juta, sementara itu harga jual untuk rumah susun murah per unit di Jakarta Pusat maksimal Rp 334.800.000 dengan harga Rp 9.300.000 per meter persegi.
Komposisi Hunian Berimbang untuk pengembang rumah adalah dengan rasio 3 rumah mewah : 2 rumah medium : 1 rumah murah, sedangkan untuk rumah susun minimal 20% dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun.
Rumah medium adalah rumah dengan harga jual 1 hingga 6 kali lebih tinggi dari harga rumah murah. Sementara rumah mewah memiliki harga jual 6 kali lebih tinggi dari harga rumah murah.
Sedangkan rumah susun komersial adalah setiap rumah susun dengan harga jual lebih tinggi dari rumah susun murah.
Dalam ketentuan ini, pengembang diwajibkan membangun rumah tapak dan rumah susun murah di Kabupaten dan/atau Kota yang sama dengan lokasi perumahan komersialnya dibangun.
Khusus Jakarta, rumah tapak dan rumah susun murah dapat dibangun di luar wilayah kotamadya, tetapi harus di wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Keseriusan pemerintah terlihat pada UU yang menyatakan adanya sanksi untuk setiap pelanggaran ketentuan tersebut, seperti penutupan lokasi pembangunan, dan/atau pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda maksimum Rp 20 miliar.
Sanksi bagi perusahaan pengembang rumah susun lebih berat, yaitu 3 kali dari denda maksimal, selain sanksi pidana tambahan seperti pencabutan izin dan status hukumnya.
Banyak pengembang menganggap ketentuan Hunian Berimbang ini sulit untuk dipenuhi, salah satunya karena harga tanah yang selalu meningkat.
Bahkan muncul gugatan materi untuk judicial review atau uji materi UU oleh sebuah lembaga pengkajian pengembangan perumahan dan perkotaan.
Menyadari keberatan dari pengembang, dalam perkembangannya, Pemerintah memungkinkan pengembang untuk bekerja sama dengan pengembang lain untuk memenuhi kewajiban ini.
Dengan angka 60% penduduk Indonesia adalah masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk yang sulit memperoleh hunian, maka kerjasama ini dapat memberikan kesempatan yang baik bagi para pengembang di mana rumah medium dan rumah murah yang dibangun akan terserap pasar dengan baik.
Pemerintah juga memungkinkan pengembang untuk membangun rumah susun murah yang memiliki nilai yang sama dengan kewajiban membangun rumah tapak murah, apabila tidak ada lahan yang cukup untuk mengembangkan rumah tapak murah oleh pengembang.
Selain itu, Pemerintah telah menyediakan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan agar masyarakat berpenghasilan rendah mampu membeli rumah murah.
Program subsidi ini memberikan fasilitas uang muka 1% dari harga properti dan bunga tetap 5% untuk jangka waktu hingga 20 tahun. Dengan fasilitas ini, pengembang dapat lebih yakin rumah murah yang dibangunnya terserap oleh masyarakat.
Ketentuan hunian berimbang merupakan bentuk perhatian Pemerintah atas tempat tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, dalam menerapkannya, perlu dicari solusi yang mendukung kedua pihak, pengembang dan masyarakat.
Salah satu kendala yang dihadapi oleh Pemerintah adalah kurangnya inisiatif dari Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk menyesuaikan peraturan daerah dengan ketentuan hunian berimbang ini.
Di samping itu, beberapa Pemerintah Daerah ingin meningkatkan pendapatan daerah dengan mengembangkan kotanya menjadi daerah yang nilai perumahannya tinggi, salah satu dengan menghindari pembangunan rumah tapak dan rumah susun murah di wilayah tersebut.
Oleh karena itu, dibutuhkan kordinasi dan kesadaran yang baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, serta pemangku kepentingan lainnya agar tujuan ketentuan hunian berimbang mengurangi backlog di Indonesia tercapai.
Penulis : Fabiola Hutagalung, S.H.
- Penasehat Hukum, Partner dan penasihat hukum di kantor hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP Lawyers)
Sumber : Kompas.Com
*saling berbagi pengalaman dan informasi seputar bisnis properti, www.propertipowerful.com
0 komentar:
Posting Komentar